Hymne Guru
Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku ntuk pengabdianmu.
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa
(Sartono)
Saat
kita mendengar lagu “Hymne Guru” hati kita menjadi tersentuh. Betapa
mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang kemajuan suatu
bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena diibaratkan
sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan,
dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti
pada sekadar sanjungan dan pujian? Terlebih di akhir bait lagu tersehut
dikatakan guru adalah patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Cukupkah
seorang guru hanya diberi gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa?
Di zaman
yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan
sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tandajasa” tidak mampu
memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di zaman
ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar,
lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu
luar biasa. Jika bukan bangsa mi yang memberi apresiasi atau penghargaan
yang selayaknya pada GURU, lalu siapa lagi? Ataukah kita harus berharap
pada bangsa lain? Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa
berharap terlalu banyak pada bangsa lain?
Sungguh ironis,
guru yang merupakan profesi yang amat mulia hanya dianugerahi gelar
‘tanpa tanda jasa”, Padahal gurulah yang mengantarkan manusia-manusia
Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ilbaratnya
pengorbanan dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan sekali pun.
Y.
Suhartono (Guru dalam Tinta Emas, 2006:ix} menjelaskan bahwa kita bisa
membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan
tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau
berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru
kita tidak dapat seperti sekarang ini.
Begitu besar peran seorang
guru dalam kehidupan kita. Namun, ketika kita sudah berhasil meraih
impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa guru. Ketika murid-muridnya
telah berhasil menjadi presiden, gubernur, pengusaha, atau apa pun, guru
tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang berubah dari guru
hanyalah usianya yang semakin menua.
Nasib Guru di Indonesia
Entah
pemerintah yang salah menerjemahkan lirik lagu “Hymne Guru” atau
pengarang lagu yang salah dalam memilih kata-katanya, atau bahkan para
guru sendirilah yang terlena dengan sanjungan dan pujian?
Kata-kata
“pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai pengabdian yang tanpa
pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun gaji yang layak
tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan (dibaca:
orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenanan atau pejuang yang gagah berani), bukankah kata pahlawan
mengandung makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di
negeri ini? Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan.
Nasib
guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul
‘Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan. Dalam lagu
tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang
mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua.
Meskipun gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil,
namun Oemar Bakrie tetap semangat mengajar murid-muridnya.
Saat
munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar Bakrie tetap saja
sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnyapun tak
kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instant, dan serba
modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam
gambaran Iwan Fals.
Salah satu contoh adalah seorang guru
yang mengajar di sebuah wilayah di daerah Gorontalo (Fahnaarosyada,
kotasantri.com). Ia mengisahkan bahwa untuk mengambil gajinya yang banya
sekitar 1 juta, ia barus berangkat dari rumah pukul 5 pagi, dan baru
sampai di kota tujuan untuk mendapatkan gajinya sekitar pukul 8 malam.
Untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh itu, guru tersebut harus
mengeluarkan biaya sebesar 200 ribu. Dan hal itu harus dilakoninya
setiap bulan.
Contoh lain, adalah seorang guru di Bekasi,
sebuah tempat yang tidak tertalu jauh dengan Ibu kota negara kita,
Indonesia. Dikisahkan oleh Ferdy Hasan dan Rieke Diah Pitaloka dalam
acara yang dipandunya ‘Good Morning’, ada seorang guru di Bekasi yang
menjadi tukang ojek. Ia terpaksa menjadi tukang ojek karena dengan
gajinya yang hanya 400 ribu, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Contoh yang lain yang tidak kalah memilukan adalah
nasib 262 guru TK/RA/BA swasta di Kabupaten Rembang, (Suara Merdeka,
Rabu 5 September 2007). Mereka mendapatkan gaji Rp 30.000,00 per bulan.
Meskipun gaji inereka ”sangat tidak masuk akal” namun para guru tersebut
tetap mengajar dengan tekun.
Menurut mereka, mereka masih
tetap bertahan mengajar karena NURANI mereka saja. Mereka merasa kasihan
kalau anak-anak desa itu tidak ada yang mengajar. Niat yang tulus
tersebut mampu menimbulkan keajaiban. Bagaimana tidak ajaib? Dengan gaji
Rp 30.000,00 per bulan mereka tetap mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
bersama keluarga. ”Saya yakin semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa”
kata Prihatin Utomo (29) Guru TK Desa Pace Kecamatan Sedan.
Ketiga
contoh di atas hanyalah sebagian kecil gambaran nasib Sang Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa. Masih banyak guru-guru lain yang mempunyai nasib
seperti mereka. Hal yang patut kita pertanyakan adalah mengapa nasib
para guru di negeri kita begitu merana dan memprihatinkan? Haruskah
lirik lagu pahlawan tanpa tanda jasa diganti dengan pahlawan dengan
sejuta jasa?
Gaji guru sangatlah rendah bahkan kadang kala
lebih rendah dari UMP, tak ubahnya gaji para pekerja kasar yang tidak
memerlukan keahlian apa pun dalam menjalankan pekerjaannya. Sementara
untuk menjadi seorang guru dituntut harus lulusan S1 bahkan S2, tetapi
gaji mereka? (www.sinarharapan.co.id) Padahal guru dituntut profesional.
untuk menjadi profesional dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Bagaimana tidak? Guru harus banyak membaca buku, membaca koran, melihat
tv mengakses internet, mengikuti seminar, dsb. Hanya dengan berbagai
kegiatan tersebutlah guru mampu mengembangkan kemampuannya secara
profesional.
Harapan ke Depan
Semoga saja nasib guru akan
semakin lebih baik di masa-masa yang akan datang. Semoga pemerintah
memberikan perhatian yang adil kepada para guru baik PNS maupun guru
swasta. Bagaimana pun juga harus kita sadar bahwa peran guru swasta
sangat besar dalam ikut memajukan dunia pendidikan di negeri ini.
Seorang
pengamat pendidikan, Utomo Dananjaya (www.sinarharapan.co.id)
mengatakan seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS
menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar
di SD dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari
program wajib belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini
pun melibatkan peran guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya
jika pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi
yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di kalangan para guru dan
dunia pendidikan pada umumnya menjadi secercah harapan bagi para guru.
Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi itu sendiri menjadi begitu
rumit karena banyak sekali komponen atau syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan lulus uji
sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar
satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta.
Tunjangan bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh
dari pemerintah.
Undang-undang Guru dun Dosen pasal 16: Guru
yang memiflki seriffikat pendikik memperoleh tunjangan profesi sebesar 1
x gaji .. guru negeri maupun swasta ... dibayar pemerintah...
Kita
semua berharap agar sertifikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Dengan demikian nasib para guru di negeri ini akan semakin baik dan
sejahtera. Dan dengan semakin sejahteranya para guru dan dosen, maka
dunia pendidikan akan semakin maju.
.
Penutup
Kita
semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan nasional adalah
guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian
sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk.
.Keceriaan para guru menjadi keceriaan bangsa ini. Dengan hanya
dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, para guru dengan tulus
mendedikasikan seluruh hidupnya demi kemajuan pendidikan dan bangsa
Indonesia, Apalagi, bila pemenintah sungguh-sungguh memperhatikan nasib
para guru, dan mereka bisa mengumandangkan lagu Hymne Guru dengan
lantang ” ...engkau patriot pahlawan bangsa.. dengan sejuta tanda jasa!”